“Freya.”

Yang dipanggil menengok, Laura ternyata.

“Sekarang jam berapa?” Tanya Laura sarkas

Freya menatap bingung Laura, padahal Laura memakai jam tangan dan memegang ponsel, “Jam setengah satu, kenapa dah lo?”

Laura sudah sangat kesal dibuatnya, Freya benar-benar tidak menyadari apa yang sudah ia lewatkan.

“Anak-anak udah banyak yang tumbang karena dehidrasi, jam setengah dua belas harusnya minum sama snack udah harus dibagiin, dan lo masih nanya kenapa?”

Freya membulatkan matanya ia lupa bahwa ia berada di divisi konsumsi, dan ingin segera ke ruang 145 untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan satu jam yang lalu, tetapi Laura menahan tangannya.

“Gausah ke 145, ke sekre, udah ditungguin Kak Bara.” Ucap Laura datar

Freya mengacak-acak rambutnya, mati dia kali ini.


Freya sudah menuju sekre, Laura menghela napasnya berat, lalu ia mengambil tisu dari tasnya, saking lelahnya, ia tidak sadar bahwa Nathan berjarak dua meter di depannya, memerhatikan dirinya.

Nathan berjalan ke arah Laura yang sedang mengibaskan rambutnya sembari mengawasi lapangan.

Laura akhirnya melihat Nathan menghampirinya dengan senyum hangat yang terpasang di wajah laki-laki itu.

Mengambil tangan Laura dan megenggamnya pelan, ibu jarinya mengusap kulit lengan perempuannya berulang kali. Yang digenggam tidak bisa menahan salah tingkahnya, rona merah muda di pipinya sangat terlihat jelas.


Sepatah kata belum keluar dari mulut Nathan atau Laura, Nathan tahu bahwa Laura sedang kelelahan, maka dari itu, berinteraksi secara verbal dirasa kurang cocok.

Nathan menyalurkan energi yang ia punya melalui genggaman, berharap Laura mendapat sedikit semangat karena aksinya itu.

Keringat yang bercucuran di dahi Laura serta rambutnya yang tergerai bebas, membuat Nathan terheran, “Ga kepanasan apa ya..” batinnya.

“Bawa jepitan atau kunciran ga?” Tanya Nathan